Tanya :
Ustadz, bagaimana hukum robot berbentuk burung. Saat desainnya, ada proses mirip tashwir (menggambar burung). Tapi ini desain industri. Burung ini adalah robot terbang. Aplikasinya dari riset satwa liar, pengamanan bandara dari kawanan burung, hingga untuk intelijen dan contra-terrorisme. Terus fiqihnya bagaimana? (Fahmi Amhar, Cibinong).
Jawab :
Jika robot burung burung tersebut bentuknya memang seperti burung, haram hukumnya dibuat dan dimanfaatkan oleh muslim, karena termasuk kategori patung makhluk bernyawa (timtsaal) yang haram dibuat oleh seorang muslim. Jika bentuknya tidak seperti burung, misalnya bentuknya seperti pesawat terbang, atau seperti drone, hukumnya boleh. Dikecualikan dari keharaman robot yang bentuknya memang seperti burung, dua keadaan; pertama, jika musuh umat Islam menggunakan robot terbang itu dalam perang melawan umat Islam, maka boleh umat Islam membuat dan memanfaatkannya dalam perang sebagai perlakuan mu’amalah bil mitsli (tindakan yang sepadan) terhadap musuh; kedua, jika robot terbang tersebut digunakan untuk mainan anak-anak, hukumnya boleh karena dianggap termasuk kategori boneka (al-dumyah) yang dibolehkan dalam syariah.
Dalil haramnya membuat dan memanfaatkan robot burung yang bentuknya seperti burung hakiki, adalah keumuman dalil-dalil hadits yang telah mengharamkan patung makhluk bernyawa (timtsaal). (Muhammad bin Ahmad ‘Ali Waashil, Ahkam At-Tashwiir fii Al-Fiqh Al-Islami, Riyadh: Daar Thayyibah, 1999, Cetakan I, hlm. 444).
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Ibnu ‘Abbas RA yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari nomor 2112 yang selengkapnya sebagai berikut :
حدثنا عبد الله بن عبد الوهاب: حدثنا يزيد بن زريع: أخبرنا عوف، عن سعيد بن أبي الحسن قال: (كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا؛ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ؛ إِنِّي إِنَّمَا مَعِيْشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي؛ وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيْرَ؛ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلاَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: [ مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً، فَإِنَّ اللهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيْهَا أَبَداً ]. فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيْدَةً؛ وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ. فَقَالَ: وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلاَّ أَنْ تَصْنَعَ؛ فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ: كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيْهِ رُوْحٌ.
Imam Al-Bukhari berkata,”Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdil Wahhab, dia berkata.’Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’,’dia berkata’Telah mengkabarkan kepada kami ‘Auf, dari Sa’iid bin Abu Al-Hasan, dia berkata,”Dulu aku berada di sisi Ibnu ‘Abbas –semoga Allah meridhainya— ketika tiba-tiba seorang laki-laki mendatangi Ibnu ‘Abbas lalu dia berkata,”Hai Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya mata pencaharianku tiada lain adalah dari pekerjaan tanganku, sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.
Maka berkatalah Ibnu ‘Abbas,’Aku tidak akan menceritakan kepada kamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa menggambar [makhluk bernyawa] / membuat patung [makhluk bernyawa], maka sesungguhnya Allah akan mengazab dia hingga orang itu meniupkan ruh [nyawa] pada gambar/patung tersebut padahal dia tidak akan mampu meniupkan ruh tersebut selama-lamanya.” Maka laki-laki itu pun dadanya membusung dan wajahnya berwarna kuning [tanda marah], maka berkatalah Ibnu ‘Abbas,”Celakalah kamu, jika kamu memang harus membuat gambar, maka hendaklah kamu menggambar pohon ini atau segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (HR Bukhari, nomor 2112 dan 5618).
Setelah memaparkan dalil-dalil hadits yang terkait dengan larangan tashwiir, termasuk hadits Ibnu ‘Abbas RA di atas, Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :
فهذه الأحاديث في جُملتها تتضمَّنُ طلبَ ترك التصوير طلباً جازماً، وهذا دليل على أن التصويرَ حرام، وهي عامة تشمل كل صورة سواء أكان لَها ظل أو لَم يكن لَها ظل، وسواء أكانت كاملةً أو نصفيَّة، فلا فرق في تحريم التصوير بين ما له ظل وما لا ظلَّ له، وبين الصورة الكاملة التي يُمكن أن تعيش، والصورة النصفيَّة التي لا يُمكن أن تعيش فكله حرامٌ لعموم الأحاديث
“Maka hadits-hadits ini secara keseluruhannya menuntut meninggalkan tashwiir dengan tuntutan yang tegas. Dan ini adalah dalil bahwa tashwiir itu haram. Hadits-hadits ini bermakna umum mencakup setiap gambar (shuurah) baik yang mempunyai bayangan maupun yang tidak mempunyai bayangan, baik yang bentuknya sempurna (utuh) maupun tidak sempurna (tak utuh). Maka tidak ada bedanya pengharaman tashwiir antara apa-apa yang mempunyai bayangan dan apa-apa yang tidak mempunyai bayangan, juga tak ada bedanya antara gambar sempurna (utuh) yang memungkinkan untuk hidup dan gambar tak sempurna (tidak utuh) yang tidak memungkinkan untuk hidup. Semuanya haram berdasarkan keumuman hadits-hadits tersebut.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 349).
Berdasarkan penjelasan tersebut, haram hukumnya membuat robot burung yang bentuknya memang dibuat mirip seperti burung. Sebab keumuman hadits-hadits yang mengharamkan tashwiir tersebut dapat diberlakukan untuk fakta robot burung tersebut.
Adapun jika robot burung tersebut bentuknya tidak dibuat mirip seperti burung, tetapi dibuat dalam bentuk lain yang tidak mirip dengan makhluk bernyawa, misalnya dibuat mirip pesawat terbang, atau mirip piring terbang, atau mirip drone, maka hukumnya boleh dan tidak mengapa, sebab hadits-hadits yang mengharamkan membuat patung makhluk hidup tidak dapat diberlakukan kepada fakta tersebut.
Dikecualikan dari keharaman membuat robot yang bentuknya mirip burung yang hakiki, dua keadaan sebagaimana telah disebutkan di atas;
Pertama, jika musuh umat Islam menggunakan robot terbang itu dalam perang melawan umat Islam, maka boleh umat Islam membuat dan memanfaatkannya dalam perang sebagai perlakuan mu’amalah bil mitsli terhadap musuh;
Dalam masalah perlakuan yang sama terhadap kaum kafir dalam perang, Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :
فممَّا يتعلق بِمعاملة العدو، جعل الإسلام للخليفة وللمسلمين أن يفعلوا بالعدو مثل ما مِن شأنه أن يفعله العدو بِهم، وأن يستبيحَ من العدو مثل ما يستبيحه العدو من المسلمين، ولو كان من الْمحرَّمات. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Maka di antara apa-apa yang terkait dengan perlakuan (muamalah) terhadap musuh; Islam membolehkan Khalifah dan kaum muslimin untuk memperlakukan musuh seperti yang dilakukan musuh kepada kaum muslimin, dan Islam membolehkan kepada musuh seperti yang dibolehkan musuh kepada kaum muslimin, meskipun itu termasuk hal-hal yang diharamkan, sesuai firman Allah SWT :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
(Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar) (QS An-Nahl : [16]: 126). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 191).
Dalam kitab tersebut, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa ayat QS An-Nahl : 126 turun terkait dengan peristiwa Perang Uhud, dimana kaum kafir telah mencincang jenasah pasukan muslim dengan cara membelah perut-perut mereka, memotong kemaluan mereka, dan juga memotong rata hidung-hidung mereka. Semua pasukan muslim yang syahid diperlakukan demikian, kecuali satu orang yaitu Hanzhalah bin Ar-Rahib. Rasulullah SAW pun berdiri di hadapan jenazah Hamzah, yang juga telah dicincang kaum kafir dengan cara dibelah perutnya dan dipotong rata hidungnya. Saat itu Rasulullah SAW bersumpah,”Demi Dzat yang aku bersumpah dengannya, sungguh jika Allah memenangkan diriku atas mereka, aku akan mencincang 70 orang sebagai ganti dirimu.” (HR Al-Thabrani).
Maka turunlah ayat ini yang melarang Nabi SAW untuk membalas musuh lebih dari yang dilakukan musuh, dan hanya membolehkan membalas sepadan kepada musuh (muamalah bil mitsli), meskipun tindakan itu diharamkan di luar perang (seperti mencincang jenazah kaum kafir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 191).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka jika musuh umat Islam menggunakan robot burung dalam perang untuk melawan kaum muslimin, boleh hukumnya umat Islam membuat dan mengoperasikan robot burung tersebut, meskipun hal itu hukumnya haram jika dilakukan di luar perang. Hal ini dibolehkan sebagai sebagai bentuk perlakuan yang sepadan (muamalah bil mitsli) kepada musuh dalam peperangan.
Kedua, jika robot terbang tersebut digunakan untuk mainan anak-anak, hukumnya boleh karena dianggap termasuk kategori boneka (al-dumyah) yang dibolehkan dalam syariah. Hal ini dikarenakan terdapat hadits-hadits yang membolehkan membuat boneka untuk anak-anak (duma al-athfaal) sebagai perkecualian (istitsnaa`) dari dalil-dalil yang mengharamkan membuat patung. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 355).
Dalil bolehnya membuat boneka anak-anak, antara lain hadits dari ‘A`isyah RA :
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كنت ألعب بالبنات عند النبي صلى الله عليه وسلم، وكان لي صواحب يلعبن معي، فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل يتقمعن منه، فيسربهن إلي فيلعبن معي.
“Dari ‘A`isyah RA, dia berkata,’Dahulu aku pernah bermain boneka berbentuk anak perempuan di sisi Nabi SAW. Dahulu aku punya beberapa teman perempuan yang suka bermain-main denganku. Ketika Rasulullah SAW masuk rumah, teman-temanku bersembunyi dari Nabi SAW. Lalu Nabi SAW menyuruh mereka untuk menemuiku lalu mereka pun bermain-main denganku.” (HR Bukhari, no 5779).
Yang dimaksud dengan kata “al-banaat” dalam kalimat “kuntu al’abu bil banat” dalam hadits ‘A`isyah tersebut tersebut, adalah “la’bun ‘alaa syakli banaat” (mainan dalam bentuk anak perempuan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 355).
Berdasarkan hukum bolehnya boneka ini, maka boleh hukumnya membuat dan memanfaatkan robot burung yang berbentuk seperti burung yang sebenarnya jika ditujukan sebagai mainan boneka untuk anak-anak.
Wallahu a’lam.
M. Shiddiq Al-Jawi