Titip jual atau konsinyasi adalah menjual suatu barang dengan cara menitipkan barang tersebut kepada pihak lain (pemilik toko dsb) dengan memberikan komisi kepada pemilik toko. Untuk penentuan komisi, biasanya pihak pemilik toko akan menjual barang dengan harga di atas harga yang ditentukan oleh pemilik barang.
Hukum titip jual atau konsinyasi secara syariah adalah boleh, karena termasuk dalam akad samsarah (perantaraan jual beli) yang telah dibolehkan dalam Syariah Islam. Samsarah (brokerage) didefinisikan sebagai suatu profesi (pekerjaan) dimana pelakunya menjadi perantara antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pelaku samsarah disebut simsar, yaitu perantara antara penjual dan pembeli. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 191).
Samsarah merupakan pekerjaan yang halal menurut Syariah Islam. Dalilnya hadits Nabi SAW yang men-taqrir (menyetujui) samsarah pada masa Nabi SAW. Diriwayatkan dari Qais bin Abi Gharazah Al Kinani RA, bahwa dia berkata,“Dahulu kami (para shahabat) berjual beli di pasar-pasar di Madinah dan kami menyebut diri kami samaasirah (para simsar/makelar).
Keluarlah Rasulullah SAW kepada kami, kemudian beliau menamai kami dengan nama yang lebih baik daripada nama dari kami. Rasulullah SAW bersabda,’Wahai golongan para pedagang, sesungguhnya jual beli sering kali disertai dengan ucapan yang sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah itu dengan shadaqah.” (HR Abu Dawud no 3326; Ibnu Majah no 2145; Ahmad dalam Al Musnad, IV/6; Al Hakim dalam Al Mustadrak no 2138, 2139, 2140, dan 2141).
Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,”Berdasarkan taqrir (persetujuan) dari Nabi SAW terhadap pekerjaan samaasirah (para simsar/makelar), juga dari sabda beliau yang berbunyi,’Wahai golongan para pedagang’ (Arab : yaa ma’syar al tujjaar), jelaslah bahwa samsarah itu hukumnya boleh dan termasuk dalam perdagangan (al tijarah). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/309).
Adapun terkait dengan komisi, syariah Islam mewajibkan besarnya komisi haruslah jelas (ma’lum), meskipun cara penetapan besarnya komisi boleh dengan bermacam-macam cara, selama cara itu sudah disepakati oleh masing-masing pihak. Besarnya komisi/upah boleh ditetapkan dengan berbagai cara antara lain : (1) berupa jumlah uang tertentu, misalnya Rp 10.000 untuk setiap unit barang yang terjual; (2) berupa persentase dari laba, misalnya 50% dari laba harga barang yang terjual;(3) berupa persentase dari harga barang, misalnya 10% dari harga barang yang terjual; (4) berupa kelebihan harga dari harga yang ditetapkan penjual, (5) atau berupa ketentuan yang lainnya sesuai kesepakatan. (Yusuf Al Qaradhawi, Al Halal wal Haram fi Al Islam, hlm. 226, Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/310).
Berdasarkan penjelasan di atas, boleh saja dalam akad titip jual disepakati bahwa pemilik toko menjual barang dengan harga di atas harga yang ditentukan oleh pemilik barang, sebagaimana lazimnya dalam akad titip jual. Namun itu bukan satu-satunya cara penentuan komisi yang dibolehkan, karena boleh juga disepakati bahwa komisi bagi pemilik toko adalah sekian persen dari harga barang yang terjual.
Wallahu a’lam.