بسم الله الرحمن الرحيم
Riba merupakan penyakit masyarakat yang banyak tersebar luas di sekitar kita. Bentuknya ada yang terang-terangan namun ada juga yang terselubung. Tak sedikit umat Islam yang terjerumus ke dalam aktivitas riba tersebut baik secara sadar maupun tanpa dia sadari.
Padahal riba sudah jelas-jelas diharamkan dalam agama Islam (lihat QS Al Baqarah : 275). Maka dari itu, agar kita terhindar dari dosa besar dari riba, kita harus mengkaji secara mendalam apa itu riba.
Apakah riba itu? Riba dapat didefinisikan sebagai berikut :
اَلرِبَا هُوَ كُلُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ فِيْ عَقْدِ الْمُعَاوَضَةِ مِنْ غَيْرِ مُقَابِلٍ أَوْ هُوَ الزِيَادَةُ فِيْ مُقَابِلِ الْأَجْلِ
“Riba adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran tanpa ada pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu (tempo).” (Abdul Aziz Al Khayyath, Al Syarikat fi Al Syari’ah Al Islamiyyah wa Al Qanun Al Wadh’i, 2/168).
Dari definisi tersebut, dapat dijelaskan lebih jauh bahwa riba itu secara garis besar ada 2 (dua) macam, yaitu :
Pertama, yang disebut riba fadhl, yaitu tambahan pada akad pertukaran satu barang ribawi dengan barang ribawi lain lainnya. Yang dimaksud barang-barang ribawi (al amwal ar ribawiyyah) adalah emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam. Misalnya 1 kg kurma kualitas bagus ditukar dengan 2 kg kurma kualitas sedang. Adanya kelebihan 1 kg kurma kualitas sedang itulah yang disebut riba fadhl.
Kedua, yang disebut riba nasi`ah, yaitu tambahan yang terjadi karena faktor waktu (tempo) yang terjadi pada akad utang. Misalnya, seseorang berutang pada orang lain sebesar Rp 100 juta rupiah pada 1 Desember 2015, dengan bunga 1% (satu persen) per bulan, atau 12% setahun. Maka jika orang itu mengembalikan utang satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Desember 2016, maka jumlah uang yang dibayarkan menjadi Rp 112 juta,-. Tambahan Rp 12 juta rupiah ini disebut riba nasi`ah.
Riba Fadhl
Riba fadhl terjadi pada 6 (enam) barang yang disebut barang-barang ribawi (al amwal ar ribawiyyah), yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam. Ketentuan hukum syariah untuk barang-barang ribawi secara garis besar adalah sebagai berikut :
Jika satu barang ribawi ditukar dengan barang ribawi sejenis (misal emas dgn emas), syaratnya ada 2 (dua), yatu : (1) harus kontan, dan (2) tak ada tambahan. Harus kontan, artinya tidak boleh utang atau bertempo. Misal emas dari satu pihak diserahkan hari ini, sedang emas dari pihak lain baru diterima besok. Ini tidak boleh. Adapun perkataan “tak boleh ada tambahan”, maksudnya adalah tak boleh ada tambahan baik dalam hal kuantitas (jumlah), takaran, atau timbangan. Misalnya 100 gram emas lantakan ditukar 90 gram emas perhiasan, ini tidak boleh.
Adapun jika pertukaran antar barang ribawi itu terjadi antara barang ribawi yang tidak sejenis (misal emas dengan perak), syaratnya hanya satu, yaitu harus kontan, namun boleh ada tambahan. Misal 1 gram emas boleh ditukar dengan 15 gram perak, namun keduanya harus diserahterimakan secara kontan, tidak boleh bertempo.
Ketentuan-ketentuan hukum syariah untuk barang-barang ribawi di atas didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, di antaranya sabda Nabi SAW :
اَلذَهَبُ بِالذَهَبِ، وَالْفِضَةُ بِالْفِضَةِ، وَالْبُرُ بِالْبُرِ، وَالشَعِيْرُ بِالشَعِيْرِ، وَالتَمْرُ بِالتَمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ
”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bil burri), jewawut dengan jewawut (asy-sya’ir bi asy-sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim no 1587).
Uang yang berlaku sekarang (rupiah) secara syariah dihukumi sama dengan emas dan perak, karena mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai alat tukar dan sebagai penilai barang dan jasa. Maka dari itu, konsekuensi hukumnya adalah, jika kita membeli emas dengan rupiah, wajib dibayar kontan (cash), tidak boleh utang atau kredit (angsuran). Demikian pula jika kita dengan rupiah membeli barang-barang ribawi lainnya, yaitu perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam, maka kita tidak boleh membeli secara utang atau kredit (angsuran), yakni wajib secara tunai (cash).
Perlu ditambahkan, menurut pendapat ulama yang paling kuat (rajih), barang-barang ribawi hanya terbatas pada 6 (enam) barang tersebut di atas (yaitu : emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam). Tidak ada yang lain. Jadi, bahan-bahan makanan lainnya, seperti beras atau gula, misalnya, bukan barang ribawi. Maka boleh hukumnya menukar 1 kg beras kualitas bagus dengan 2 kg beras kualitas sedang. Boleh pula hukumnya menukar 1 kg gula kualitas bagus dengan 2 kg gula kualitas sedang. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 256-257)
Ketentuan hukum syariah untuk barang-barang ribawi di atas diberlakukan pula pada hukum tukar menukar uang (sharf, money exchange). Ketentuan syariahnya adalah sebagai berikut : (1) Jika uang yang ditukarkan adalah uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah) maka syaratnya ada 2 (dua), yaitu : pertama, wajib kontan, dan kedua, tidak boleh ada tambahan (yaitu harus sama nilainya). (2) jika uang yang ditukarkan adalah uang yang tidak sejenis (misal rupiah dengan dolar), maka syaratnya hanya satu, yaitu wajib kontan, namun dibolehkan ada tambahan (tidak harus sama nilainya). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 261-262).
Riba Nasi`ah
Riba nasi`ah terjadi pada akad utang dengan mengenakan tambahan pada pokok utang. Bunga bank (fawa`idul bunuuk), baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman, adalah contoh riba nasi`ah. Namun riba nasi`ah ini tidak terbatas pada bunga bank saja, melainkan meliputi juga setiap bentuk tambahan atas pokok utang lainnya. Misalnya, bunga di pegadaian, bunga di asuransi, bunga di koperasi, bunga obligasi, bunga utang luar negeri, bahkan termasuk bunga di bank plecit (rentenir), semuanya sama-sama riba yang haram hukumnya.
Bolehkah seorang muslim menabung di bank ribawi (konvensional)? Dengan kata lain, bolehkah seorang muslim membuka rekening di bank? Jawaban ringkasnya adalah sebagai berikut : (1) Menyimpan uang di bank ribawi dengan akad riba (mendapat bunga), hukumnya haram, walaupun bunganya tidak diambil. (2) Menyimpan uang di bank ribawi tanpa akad ribawi, syubhat (tidak jelas halal haramnya). Perkara syubhat sebaiknya ditinggalkan, sesuai sabda Rasulullah SAW :
لَاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوُنَ مِنَ الْمُتَقِيْنَ حَتَى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَا بِهِ بَأْسٌ
“Seorang hamba tak akan mencapai derajat muttaqin (orang bertaqwa) hingga dia meninggalkan sesuatu yang tak ada dosanya khawatir di situ ada dosanya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim. Hadits shahih. Lihat Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Jami’ Ash Shaghir, 2/204).
Hukum riba adalah haram tanpa ada keraguan lagi (Lihat QS Al Baqarah : 275). Di samping itu, riba merupakan salah satu dosa besar (kaba`ir) dan perbuatan yang terkutuk (terlaknat). Bahwasanya riba termasuk dosa besar, dalilnya adalah sabda Nabi SAW :
اِجْتَنِبُوا السَبْعَ الْمُوْبِقَاتِ“ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا هُنَ؟ قَالَ: ”اَلشِرْكُ، وَالسِحْرُ، وَقَتْلُ النَفْسِ الَتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلاَ بِالْحَقِ، وَأَكْلُ الرِبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِيْ يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan!’ Mereka (para shahabat Nabi SAW) bertanya,’Apa itu?’ Sabda Nabi,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh zina kepada wanita mukmin yang baik-baik.” (HR Bukhari)
Adapun bahwa riba itu sesuatu yang terkutuk, dalilnya hadits Nabi SAW bahwa :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آكِلَ الرِبَا، وَمُوْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ“، وَقَالَ: ”هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Sabda Nabi SAW,’Mereka sama saja [dalam hal dosanya].” (HR Muslim)
Riba mempunyai dosa yang sangat besar, na’uzhu billah min dzalik, sesuai sabda Nabi SAW :
اَلرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَاباً أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَجُلُ أُمَهُ
“Riba mempunyai 73 macam dosa, yang paling ringan seperti laki-laki yang menikahi (berzina) dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR Hakim).
Sabda Nabi SAW :
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang sedang dia mengetahuinya, lebih berat dosanya daripada 36 kali berzina.” (HR Ahmad).
Demikianlah kajian singkat tentang hukum-hukum judi dan riba. Dengan mengetahui hakikat dan hukum-hukumnya, semoga kita terhindar dari dosa-dosa besar yang terdapat pada judi dan riba tersebut. Aamiin. Wallahu a’lam.
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi (Dosen STEI Hamfara Yogyakarta dan Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta)